Aku ingin berbagi cerita tentang pengalamanku selama tinggal di tanah Eropa sebagai seorang muslimah. Tulisan kali ini adalah kisah kala aku merantau ke negeri Swiss.
Merantau ke Swiss
Di musim semi tahun kemarin, aku ditugaskan oleh project kerjaku untuk melakukan kunjungan studi ke salah satu research center di Martigny, Swiss. Aku pun menghabiskan waktu sekitar 5 minggu disana. Banyak sekali cerita seru yang berhubungan dengan kemuslimahanku.
Martigny adalah salah satu kota di Swiss yang berbahasa Perancis. Kemampuan bahasa Perancisku, nol besar. Aku menemukan banyak kesulitan dalam berkomunikasi dengan penduduk lokal. Belanja di supermarket pun sulit. Apalagi kalau mampir-mampir ke restoran untuk mencari makan.
|
Stok makanan di kamarku: bawang-bawangan yang tak pernah kupakai; pringles dan sirup untuk snacking time; selai berbagai rasa, botol-botol berisikan saus-saus instan untuk pasta; mie instant halal nemu di supermarket; yoghurt, mentega dan roti; nasi dan pasta instant. |
Kebetulan, kala tinggal disana, aku punya ibu kost yang agak gak asik. Dia sangat rewel dalam hal kebersihan dan kerapihan rumah. Oleh karenanya, aku jadi malas sekali memasak di rumah. Makananku sehari-hari ya cuman buah-buahan dan roti saja. Kalau ingin makan enak, sekali-kali aku pergi ke salah satu restoran Cina di tengah kota. Lumayan, bisa makan nasi. Walau kala memesan banyak pakai bahasa tubuh.
Sebetulnya, sudah lama kutaksir suatu restoran di tengah kota itu. Sebuah restoran Doner & Pizzeria. Hanya, sering kuurungkan niat untuk mengunjunginya. Aku takut daging yang mereka pakai tidak halal.
Suatu hari sehabis kerja pol-polan di kantor, aku pulang dengan kondisi yang super cape di tengah malam. Kala itu aku merasakan lapar yang cukup dashyat. Hari sudah malam. Kalau aku pulang dan masak di rumah, pasti ibu kost ngomel-ngomel. Terpaksa aku harus mencari makan di tengah kota.
Malam itu, keuangan Swiss Franc-ku sudah makin menipis. Ingin sekali rasanya makan nasi di restoran Cina itu. Tapi apalah daya, muahall bo! Yah, namanya juga Swiss. Akhirnya, aku menyebrangi jalan, berpindah dari muka restoran Cina ke restoran Doner & Pizzeria. Pasrah karena keuangan yang menipis dan perut yang lapar, kuberanikan diri masuk ke restoran Doner itu. Pikirku, minimal aku bisa makan pizza vegetarian yang murah.
Ada beberapa pengunjung mengisi kursi-kursi di restoran itu. Kedatanganku disambut oleh senyum hangat dua bapak paruh baya. Satu bapak yang agak gempal sibuk mengiris kebab, satu bapak lainnya sibuk bertransaksi dengan salah seorang pengunjung restoran.
Aku celingak celinguk kebingungan, berdiri seorang diri di depan counter restoran kebab itu. Si bapak kurus, ia sudah selesai melakukan transaksi dan mengantar pengunjung keluar restoran. Ia kemudian menghampiriku, dan menyapa "Assalamualaykum". Terkaget aku, lalu kubalas "Wa'alaykumsalam", kataku.
Si bapak kurus kemudian berkata-kata dalam bahasa Perancis. "Mati-lah! Gak ngerti gue!", pikirku. Langsung kujawab ia dengan bahasa Inggris, "I don't speak French. I am sorry. Can I buy a vegetarian-pizza?" kataku sambil menujuk satu gambar pizza di kertas menu. Ia kemudian mengangguk dan berkata, "Halal", sembari menunjuk label halal di kertas menu.
Ah, Pak. Kenapa gak ditulis besar-besar di jendela luar sih?? Sebelum ia berlalu, aku langsung otomatis berkata "I want a doner box too!". Bisa saja kubatalkan pesanan pizza-ku. Tapi, karena bahasa Inggris si bapak hanya seadanya saja, kuurungkan niat itu. Bisa panjang dan ribet urusannya.
Si bapak tersenyum lagi padaku, dan ia mengangguk. Sepertinya ia mengerti pesananku. Dia kemudian berbincang dengan si bapak yang satunya, bapak yang agak gempal. Mungkin mereka berbincang tentang pesananku dan tentang aku yang adalah seorang muslimah. Si bapak gempal juga tersenyum padaku. Mereka kemudian sibuk mengerjakan pesananku.
|
Doner box yang bersejarah. |
"One doner box, one pizza.", kata si bapak kurus padaku di kasir. Segera kubayarkan nominal yang tertera di bon-ku padanya. "Thank you", katanya. Si bapak gempal pun tersenyum lagi padaku. Kubalas senyuman mereka. Langsung saja aku keluar dari restoran itu dengan hati riang. Sambil tersenyum-senyum sendiri, aku berlari pulang ke rumah. Tak sabar kumakan semua makanan-makanan halal nan sedap itu. Saking aku terlihat girang, sempat juga seorang pemuda tampan tersenyum padaku di jalan. Ah, sepertinya dia menertawakan wajah riangku, atau mungkin memang dia murah senyum.
Di hari-hari berikutnya, sering sekali aku berkunjung ke restoran dua bapak itu. Kadang kucoba menu lainnya, tetapi hatiku selalu tertambat pada doner box mereka. Enak, mengenyangkan dan halal. Di kunjungan-kunjungan selanjutnya, kami sering berbincang-bincang singkat. Tentunya dengan bahasa Inggris yang ala kadarnya.
Pernah suatu kali si bapak sangat riang kala kuceritakan bahwa aku berasal dari Indonesia, negeri yang jauh dari swiss dan turki, negeri asalnya. Aku bercerita bahwa di Indonesia, banyak sekali penduduk muslimnya, tetapi kita hidup berdampingan dengan penganut agama lain. Pernah juga si bapak bercerita bahwa ia ingin sekali pergi Hajj. Kemudian ia juga pernah bercerita bahwa di Lausanne, kota berjarak 15 menit dari sini, banyak sekali warga muslimnya. Ah, sayang aku tak sempat mengunjungi kota itu.
Di hari-hari terakhir, aku merasa tidak kesepian lagi. Tadinya, kupikir aku sendirian saja di kota Swiss berbahasa Perancis ini. Tapi, sekarang aku mengenal dua bapak di toko doner box yang mungkin mereka bersaudara. Kemudian, ada seorang gadis cantik berjilbab yang tersenyum padaku di hari lainnya kala aku pergi berbelanja di supermarket. Sepertinya dia berasal dari daerah Iran. Ada juga seorang ibu yang memberi salam padaku sembali ia mendorong kereta bayinya. Ada juga seorang pemuda muslim dari Mauritania yang mengajakku berbincang kala aku berada di dalam kereta menuju Zurich.
Subhanallah. Memang indah rasanya kala bisa menemukan saudara kita di perantauan. Saudara sesama muslim.