Kamis, 06 Maret 2014

Seorang muslimah di luar negeri (ed. 3)

Bagi seorang muslimah, berhijab adalah hal yang sangat penting, prinsipil dan sensitif. Buatku yang seorang muslimah berjilbab, aku banyak mendapatkan pengalaman baru selama aku tinggal di luar negeri.


Cerita dari Negeri Sakura


Sudah beberapa kali aku mengunjungi negara Jepang. Banyak kota sudah aku kunjungi, mulai dari Tokyo si ibukota sampai ke kota kecil Iwata, kota dimana suamiku pernah bekerja. Jepang selalu memberikan daya tarik tersendiri bagiku. Mungkin karena kesukaanku pada drama-drama mereka. 

Foto sama nona kecil nan kawaii (imut)
di Tokyo Tower. Dia yang minta foto
bareng, lho!


Berjilbab di negeri sakura banyak menimbulkan sensasi aneh bagiku. Bagi mereka, orang Jepang, wanita berjilbab ala Indonesia adalah hal yang unik dan jarang mereka temui. Banyak kali mereka melirikku di jalan kala aku lewat. Melirik tapi tanpa memberikan tatapan menghakimi. Mereka orangnya baik-baik dan ramah, walaupun agak kaku. 

Pernah suatu kali aku dan suamiku makan di restoran yang menyajikan udon, mie ala Jepang. Disana, suamiku sibuk memesan makanan pada pramusaji dan memastikan bahwa tidak ada kandungan babi dalam makanan yang dipesannya dengan bahasa jepangnya yang fasih. Di sebelah kami, duduklah sepasang suami-istri yang juga sedang makan bersama. Istrinya bertanya pada suaminya, kenapa kami tidak makan babi. Suaminya menjelaskan bahwa kami itu adalah muslim, dan kami tidak makan babi. Buatku, itu adalah sapaan hangat dari sang suami. Aku senang karena dia melihat jilbabku, dia kemudian mengenali aku sebagai seorang muslim. 

Pernah juga kami makan di restoran sushi. Ya, sushi adalah salah satu makanan favoritku. Kali itu kami makan di kedai sushi tradisional Jepang. Restoran tersebut terletak di jalanan kecil samping stasiun kereta. Lain dengan restoran sushi putar, kami bisa melihat dengan jelas sang bapak koki sushi membuat pesanan kami. Kami juga bisa berbincang-bincang dengan sang koki. Sebetulnya suamiku lah yang berbincang dengannya. Aku hanya pasif mendengarkan sambil berusaha mengerti sedikit-sedikit dengan kemampuan bahasa Jepangku yang seadanya. 

Setelah banyak pertanyaan dan jawaban dilontarkan satu sama lain, akhirnya sang bapak tau bahwa kami adalah muslim Indonesia. Singkat cerita, akhirnya dia bertanya padaku, "Gak panas ya pakai itu (sambil menaruh tangannya di kepala)?". Kubilang "tidak". Ya pak, sumuk sih sumuk, apalagi kalau musim panas. Tapi kan enak, anget kalo musim dingin. Lagi, sebetulnya kan sekarang banyak sekali jilbab yang berbahan adem. Kuminta suamiku mentranslasi jawabanku pada si bapak koki sushi. Dia kemudian tersenyum padaku sambil mengacungkan dua jempolnya. 


Berjilbab di negara empat musim 


Ngomong-ngomong soal berjilbab, hanya pengalamanku di Jepang saja yang cukup aneh tapi nyata kala berjilbab. Selama aku berkelana di benua Eropa, tidak banyak hal-hal aneh terjadi padaku karena jilbabku. Pernah saja beberapa muslim lainnya menyapaku di jalan ketika berpapasan. Itu saja.

Kostumku di negeri 4 musim Belanda:
(atas, ki-ka) musim semi dan musim panas, dan
(bawah, ki-ka) musim dingin dan musim semi. 
Hal ini mungkin dikarenakan banyaknya warga pendatang di benua biru itu. Ada yang datangnya dari negeri-negeri muslim di Afrika. Banyak pula pendatang yang asalnya dari Turki. Oleh karena itu, pemandangan wanita berjilbab sudah bukan hal yang asing lagi.

Oia, kalau pengalamanku di Belanda lain lagi. Sebetulnya, mungkin dengan atau tanpa berjilbab, orang lokal Belanda bisa mengenaliku sebagai orang Indonesia. Yah, maklum lah, dengan sejarah panjang antara Indonesia dan Belanda, orang-orang Belanda bisa dengan mudah mengenali orang Indonesia.

Ada juga cerita lucu tentang cara berjilbab orang Indonesia. Pernah suatu kali aku mengikuti konferensi internasional di Brussels, Belgia. Konferensi tersebut berisikan para peneliti dan orang-orang pemerintahan dari ASEAN dan juga EU (European Union). Banyak sekali mbak-mbak cantik berjilbab yang datang --kalau tidak salah-- dari kementrian pendidikan RI.

Di sela-sela konferensi, di kala coffee break berlangsung, salah seorang Eropa menghampiriku dan bertanya, "apakah jilbab-jilbab di Indonesia selalu semeriah itu?". Kurasa dia bertanya-tanya karena jilbab si mbak-mbak yang cukup heboh, dengan corak dan warna-warni cerah pula.

Kujawab saja sebaik-baiknya, bahwa, tidak semua jilbab semeriah itu. Itu hanya bagian dari trend orang-orang berjilbab yang lagi hit sekarang ini di Indonesia. Percakapan kami pun berlangsung sampai ke pertanyaan prinsipil soal berjilbab. Aku kemudian berusaha menjelaskan bahwa kami, para muslimah, berjilbab untuk menutup aurat, dan menjaga kehormatan kami dan siapa pun yang melihat kami, terutama kaum pria.

Ada satu pertanyaan retorikal dan lucu yang kemudian dilontarkannya. Kalau memang niatnya bagus begitu, kenapa kok para wanita berjilbab warna-warni itu jadi terlihat semakin cerah dan semakin memikat kaum pria? Haha, lucunya. Bukan seorang muslim saja bisa berpikiran sejauh itu. Aku kemudian hanya menjawabnya dengan tertawa saja. Duh, nyindirnyanya bisa aja nih si bapak.

Cerita tentang percakapanku diatas dengan si bapak Eropa itu dapat menggambarkan betapa terbukanya pemikiran orang Barat, terutama Eropa, dengan para muslimah dan jilbabnya.


Sebetulnya masih banyak cerita tentang berjilbab sebagai muslimah di luar negeri. Tapi kalau diceritakan semua, bisa jadi novel sendiri kali ya. Jadi, sekian dulu deh tulisan kali ini. Lain kali, akan disambung dengan kisang seorang muslimah di luar negeri edisi lainnya :) 

2 komentar:

  1. Asik ada foto Tante en Popo pas kita ke Keukenhof :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. So pasti, maktjik.
      Apa perlu ditambahkan dengan foto maktjik?
      hehe :D

      Hapus